Wednesday, April 20, 2011

[FF] Curiga

"Papamu tak akan kembali." ucap mama sebelum mengunci pintu kamarnya. Aku diam tak menanggapi. Entah ini sudah yang keberapa kali mama beranggapan seperti itu. Aku tetap percaya papa akan pulang malam ini seperti malam-malam sebelumnya.

Ya, mama selalu mencurigai papa sejak mengetahui belang laki-laki yang ia sebut suami. Sedangkan aku, aku kecewa dengan papa juga marah. Tapi kini hati ini sedikit melembut, setidaknya setelah beliau meminta maaf dan mengaku salah padaku. Sayang tidak dengan mama, mama tetap saja menaruh curiga dan sudah tak percaya lagi.

Awalnya aku berdiri dipihak mama, kini aku memilih tak memihak siapapun. Keduanya salah, papa salah karena membohongi dan menduakan mama. Dan dimataku mama pun salah, karena tak henti menuduh yang bukan-bukan, walau pada kenyataannya aku pun tak tahu apa yang dilakukan papa saat diluar rumah.

"Papa di rumah, dek?" sebuah pesan singkat datang dari mama.
"Keluar. Ke Bekasi,"

Tak berapa lama telpon rumah berdering. Aku tahu itu pasti mama. Dengan cepat ku raih telponnya.
"Bilang apa lagi?"
"Tak, ada. Hanya ke Bekasi dan mungkin tak bisa menjemput."
"Ya, sudah. Tapi kalau pulang urut papamu ke rumah wanita itu, maka celakalah ia!"

Aku hanya diam mendengarnya, bukan kali ini saja kata 'celaka' itu keluar dari mulut mama. Jujur aku tak menyukai kata itu.

"Papamu sudah pulang?" tanya mama yang kembali menelpon sore harinya.
"Belum?"
"Dari pagi sampai sekarang?"
"Mungkin masih dijalan..."
"Kamu mau aja dibohongi, Nak..." terdengar suara tawa kecil diseberang.

Keesokkan paginya,
"Papa di rumah, Nak?"
"Pergi liat kios,"
"Pagi-pagi? Memang ada yang buka? Celakalah ia kalau ke rumah wanita itu."

Ada apa dengan keduanya? Setiap keluar rumah, papa tak pernah bilang kemana ke mama. Dan setiap papa ke luar rumah, pikiran negatif selalu menghinggapi mama. Apalagi jika ponsel papa tak satupun yang bisa dihubungi, maka kata 'celaka' pasti keluar.

Wednesday, April 6, 2011

[FF] Puber Kedua

"Bukan saya yang mengejar, tapi Bapak." ucapannya membuat ibu Min, tak dapat berkata-kata karena menahan emosi. Bagaimana bisa ia berkata begitu, sementara ia sudah merusak rumah tangga orang lain. Dari kejauhan putrinya menatap penuh kebencian, namun bibirnya melukis senyum saat sang bunda menatapnya lekat.

Ia tahu seperti apa belang ayahnya, tapi memilih diam dan berpura-pura tak tahu. Ia tak ingin bundanya lebih sedih lagi karenanya.

"Kamu nggak makan, Nak?"
"Nanti," Jena menjawab sekenanya. Ia sedang tak ingin berbicara pada sosok didepannya.
"Siapa Era?" tanyanya tiba-tiba.
"Era mana?"
"Ayah tahu siapa yang ku maksud," ia pun berlalu tanpa menunggu reaksi ayahnya.

Selama ini Jena merasa aneh dengan perubahan sang ayah yang lain dari biasanya, tapi ia tak pernah menduga jika beliau ternyata sedang mengalami puber kedua.

Monday, April 4, 2011

[FF] Private Number

Sudah berkali-kali private number selalu menghubungi ponselku. Aku yang tadinya cuek, lama-lama kesal juga. Akhirnya ku jawab juga, tapi aku memilih tak bersuara dan ternyata diseberang pun tak bersuara.

Private number sekarang rutin mengangguku. Andai ku tahu siapa, pasti sudah ku marah-marahi dia.
"Siapa sih ini?!" gerutukku kesal, melempar ponselku ke kasur.
"Awas saja kalau ku tahu siapa!" seruku setengah mengancam.

Entah siapa yang iseng, entah siapa yang kurang kerjaan, entah siapa yang seakan menerorku.

Dari pada pusing-pusing, kuputuskan mengganti nomer. Sayang sebenarnya, apa lacur dari pada setiap sore private number terus mengahantui, ku pilih jalan ini.

"Nomermu ganti ya?"
"Iya, habis sebal juga lama-lama diteror." akupun memberitahukan nomer baruku pada Lena.

Setidaknya untuk beberapa waktu aku terebebas. Sampai...
"Lagi?! How...?"

...private number...
aku mendiamkannya, ku silent akhirnya

Saturday, April 2, 2011

[FF] Akhir Ku dan Keluargaku

Aku lari dari apa?
Mengapa aku berlari?

Dengan terengah-engah, ku memilih merapat kedinding. Aku berusaha mengatur nafas sambil sesekali menyeka air mata yang tak henti.


Flashback,
"Ma, Pa, bisakah kalian tak berpisah. Bertahanlah, ku mohon..." dengan tatapan memelas gantian ku melihati mereka. Mataku basah sudah.
Apa lacur, seperti yang pernah mama katakan sebelumnya. Sewaktu-waktu beliau akan 'meledak'. Dan itu terjadi pagi ini.


Mama menggeleng pelan, papa membuang muka. Ku yakini mereka, walau ku tahu jauh sebelumnya tentang belang papa dibelakang kami, namun aku memilih diam. Kusembunyikan rapat. Karena bagiku keluarga ini adalah segalanya.


Papa keluar dengan tas ditangan, sambil berkata akan mengirimkan surat cerai secepatnya. Mama tak kalah galak, beliau masuk ke kamar, membanting pintu. Aku jatuh terduduk dan menangis sejadinya. Ini kah akhir keluargaku...
"Pa, aku sayang padamu. Apa yang wanita itu lakukan padamu?"
"Ma, aku juga sangat sayang padamu. Aku tahu ini begitu menyakitkan..."


Aku bangkit dan mulai berlari, berlari, dan terus berlari.


Ku lanjut untuk berlari,
"Ughh..."
Apa ini? mengapa terasa sakit. Aku memagangi perutku, saat ku lihat kedua tanganku penuh darah, aku terperanjat. Dan lebih mengejutkan lagi saat ku berbalik, aku melihatnya...wanita itu...
"Kau..."
Ia tersenyum dingin padaku.
"Pa..."
Tubuhku limbung...
"To...lo...ng..."