"Papamu tak akan kembali." ucap mama sebelum mengunci pintu kamarnya. Aku diam tak menanggapi. Entah ini sudah yang keberapa kali mama beranggapan seperti itu. Aku tetap percaya papa akan pulang malam ini seperti malam-malam sebelumnya.
Ya, mama selalu mencurigai papa sejak mengetahui belang laki-laki yang ia sebut suami. Sedangkan aku, aku kecewa dengan papa juga marah. Tapi kini hati ini sedikit melembut, setidaknya setelah beliau meminta maaf dan mengaku salah padaku. Sayang tidak dengan mama, mama tetap saja menaruh curiga dan sudah tak percaya lagi.
Awalnya aku berdiri dipihak mama, kini aku memilih tak memihak siapapun. Keduanya salah, papa salah karena membohongi dan menduakan mama. Dan dimataku mama pun salah, karena tak henti menuduh yang bukan-bukan, walau pada kenyataannya aku pun tak tahu apa yang dilakukan papa saat diluar rumah.
"Papa di rumah, dek?" sebuah pesan singkat datang dari mama.
"Keluar. Ke Bekasi,"
Tak berapa lama telpon rumah berdering. Aku tahu itu pasti mama. Dengan cepat ku raih telponnya.
"Bilang apa lagi?"
"Tak, ada. Hanya ke Bekasi dan mungkin tak bisa menjemput."
"Ya, sudah. Tapi kalau pulang urut papamu ke rumah wanita itu, maka celakalah ia!"
Aku hanya diam mendengarnya, bukan kali ini saja kata 'celaka' itu keluar dari mulut mama. Jujur aku tak menyukai kata itu.
"Papamu sudah pulang?" tanya mama yang kembali menelpon sore harinya.
"Belum?"
"Dari pagi sampai sekarang?"
"Mungkin masih dijalan..."
"Kamu mau aja dibohongi, Nak..." terdengar suara tawa kecil diseberang.
Keesokkan paginya,
"Papa di rumah, Nak?"
"Pergi liat kios,"
"Pagi-pagi? Memang ada yang buka? Celakalah ia kalau ke rumah wanita itu."
Ada apa dengan keduanya? Setiap keluar rumah, papa tak pernah bilang kemana ke mama. Dan setiap papa ke luar rumah, pikiran negatif selalu menghinggapi mama. Apalagi jika ponsel papa tak satupun yang bisa dihubungi, maka kata 'celaka' pasti keluar.
No comments:
Post a Comment